Thursday, September 22, 2011

Jaminan Kesehatan SJSN tidak Hanya Masalah Besaran Premi



Dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) mengamanatkan bahwa setiap orang atau warga negara berhak atas jaminan sosial untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak dan meningkatkan martabatnya menuju terwujudnya masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur.  Untuk penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional telah dibentuk Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) sesuai Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 tahun 2008 dan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 110/M Tahun 2008 dan 115M/ Tahun 2009. DJSN dalam UU diamanatkan berfungsi merumuskan kebijakan umumdan sinkronisasi penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional. Untuk pelaksanaannya perlu adanya Badan Pelaksana Jaminan Sosial (BPJS). Dalam UU yang dimaksud BPJS adalah Perusahaan Perseroan (Persero) Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK), Perusahaan Perseroan (Persero) Dana  tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (TASPEN), Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI), dan Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Kesehatan Indonesia (ASKES).     
Sistem Jaminan Sosial Nasional ( SJSN ) mengamanatkan penyelenggaraan 5 program jaminan, yaitu: jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, jaminan kematian. Dari kelima program jaminan yang wajib menjadi prioritas SJSN adalah Jaminan Kesehatan. Sampai saat ini, cakupan kepesertaan program jaminan kesehatan baru mencapai 50% dari jumlah penduduk. Untuk mencapai total coverage (cakupan bagi seluruh rakyat) peserta wajib membayar iuran, kecuali warga maskin dibayar pemerintah. Oleh karena itu perlu partisipasi masyarakat untuk berkontribusi dalam pembiayaan jaminan kesehatan dengan dukungan semua pihak termasuk para stakeholder untuk saling bekerja sama menuju prinsip prinsip SJSN, yaitu; kegotong royongan, keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, kompabilitas, kepesertaan.
Jaminan kesehatan yang diamanatkan dalam SJSN berdasarkan pasal 22 ayat (1) UU no 40 tahun 2004 mencakup UU SJSN, Pasal 22 mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif, termasuk obat dan bahan medis habis pakai yang diperlukan. Berdasarkan hal tersebut benefit yang ditawarkan oleh jamkes SJSN lebih tinggi daripada hanya sekedar jaminan kesehatan pada asuransi komersial biasa yang hanya bersifat kuraktif. Dari segi manfaatnya ini akan sangat diharapkan oleh seluruh masyarakat karena akan memberikan keuntungan yang berganda, tetapi yang perlu untuk diperhatikan adalah berapa cost yang ditimbulkan untuk penyelenggaraan jaminan kesehatan yang komprehensif seperti yang diamanatkan oleh undang-undang terkait dengan kapitasinya. Perlu untuk dilakukan sinkronisasi atas program-program kesehatan yang terkait dengan cakupan jamkes SJSN sehingga tidak terjadi pembebanan berganda pada APBN. Semua anggaran yang terkait dengan kesehatan perlu ada satu leading sektor dalam hal ini adalah Kemenkes sehingga pelayanan kesehatan bisa dilakukan secara komprehensif dengan cost yang minimal.
Terkait dengan asuransi dan cost yang akan dikeluarkan dalam pelaksanaan jamkes SJSN kita akan langsung fokus mengenai besaran premi yang harus dibayar oleh peserta. Besaran premi ini memang adalah hal yang sangat penting dalam hal asuransi, namun dalam hal pelaksanaan SJSN karena sifatnya adalah social insurance maka ada hal-hal lain yang perlu untuk diperhatikan sebelum menentukan besarn premi yang harus dibayar. Sebelum menghitung besaran premi perlu untuk diketahui bagaimana kondisi pelayanan kesehatan di Indonesia saat ini dan upaya yang harus dilakukan pemerintah terkait dengan efisiensi dan kualitas pelayanan kesehatan terkait dengan jaminan kesehatan SJSN.
Sistem kesehatan Indonesia saat ini sangat tidak memihak kepada rakyat. Hal ini tercermin dari sistem pembayaran jasa per pelayanan (fee for service) yang diterapkan Indonesia, meskipun pelayanan tersebut di sediakan di RS publik. Standar biaya atas pelayanan dokter juga belum ada dan menambah ketidakpastian biaya pelayanan kesehatan. Harga obat-obatan yang beredar di Indonesia juga sangat mahal dan beragam meskipun memiliki kandungan yang sama. Disamping biaya tidak pasti tergantung merk obat yang diberikan ke pasien ini sudah jelas akan membuat biaya pengobatan menjadi semakin mahal. Rakyat Indonesia menghadapi ketidak-pastian (uncertainty) dan biaya yang semakin tinggi dalam memperolah pelayanan kesehatan. Di rumah sakit publik sekalipun, rakyat tidak tahu berapa biaya yang harus dibayarnya jika ia atau seorang keluarganya dirawat, sampai ia keluar dari rumah sakit dan perbedaan biaya pengobatan satu dokter dengan dokter lainnya bisa sangat signifikan. Pelayanan kesehatan di Indonesia masih bersifat you get what you pay for, masyarakat menerima pelayanan sesuai dengan apa yang dibayarkan sehingga bagi yang kurang mampu otomatis pelayanan yang diberikan adalah seadanya dan bagi yang kaya terkadang diberikan lebih dari yang dibutuhkannya. Pola seperti ini akan memudahakan pelayanan kesehatan untuk dikomersialisasi dan biaya untuk penyembuhan akan menjadi semakin mahal. Seharusnya pelayanan kesehatan lebih kepada kebutuhan dan diberikan pelayanan sesuai dengan apa yang dibutuhkan untuk penyembuhan (you get what you need).
Pembentukan jamkes SJSN secara pararel harus diikuti dengan penetapan standar biaya pelayanan kesehatan bagi dokter yang praktek di seluruh Indonesia. Penetapan standar biaya dokter ini akan meredam kenaikan biaya pengobatan dan secara otomatis akan menurunkan besaran kapitasi bagi para peserta jamkse SJSN dalam hal ini adalah seluruh rakyat Indonesia. Kemudian hal terkait pengobatan yang penting di Indonesia adalah mahalnya obat-obatan, yang saat ini termahal di Asia Tenggara. Pemerintah perlu bekerja keras bagaimana menciptakan suatu sistem agar obat-obatan di Indonesia harganya bisa diatur. Kapitalisasi dalam industri obat di Indonesia harus segera diredam dengan memperhatikan kondisi perekonomian saat ini harusnya campur tangan pemerintah terhdap sektor farmasi di Indonesia tidak akan berpengaruh terlalu signifikan dalam mengejar pertumbuhan ekonomi seperti yang ditargetkan dalam APBN. Efek pengaturan harga obat di Indonesia ini akan sangat dirasakan dalam hal SJSN diterapkan, akan meringankan beban Pemerintah dan dapat meningkatkan pelayanan kesehatan masyarakat.
Kemudian dalam hal memperoleh akses pelayanan kesehatan, tidak semua daerah di Indonesia memiliki fasilitas infrastruktur yang memadai begitu juga dengan tempat pelayanan kesehatan tidak ada di semua wilayah. Di daerah-daerah yang terpencil waktu dan biaya yang diperlukan untuk bisa mendapatkan pelayanan kesehatan sangat besar. Lebih parahnya lagi adalah di daerah tertentu hampir tidak ada puskesmas yang terjangkau secara logis dalam hal terjadi kejadian-kejadian yang gawat seperti kecelakaan dan lahiran bagi ibu hamil. Jika jamkes SJSN ini dilaksanakan tanpa memperdulikan ketersediaan akses pelayanan kesehatan bagi masyarakat di daerah maka akan menjadi sangat tidak adil. Kebanyakan yang menikmati pelayanan kesehatan dari jamkes SJSN hanyalah masyarakat yang bisa mengeluarkan biaya maupaun memiliki akses dalam mencapai tempat pelayanan kesehatan dimaksud.
Untuk menunjang kemudahan akses pelayanan kesehatan dalam mendukung pemerataan dalam memperoleh jaminan kesehatan SJSN Pemerintah harus memperhitungkan pembangunan infrastruktur yang memadai di daerah-daerah remote. Pembangunan infrastruktur di daerah-daerah remote ini juga akan menstimulus pertumbuhan ekonomi meskipun mungkin tidak sebesar dan secepat dampak yang diakibatkan dengan pembangunan tol trans jawa.  Pembangunan infrastruktur di darah remote ini juga akan menunjang pemerataan pembangunan sehingga ketimpangan antara jawa dengan non-jawa tidak begitu besar terutama dalam hal akses pelayanan kesehatan, yang mana kesehatan saat ini adalah kebutuhan pokok yang wajib dipenuhi.
Mengenai badan pelaksana jaminan sosial dalam hal jaminan kesehatan perlu dilaksanakan oleh badan yang kompeten dan memiliki pengalaman yang pasti di bidanganya. Ini akan sangat menunjang pelaksanaan jaminan kesehatan SJSN itu sendiri. Pemerintah tidak perlu membentuk BPJS dalam hal pelaksnaaan jamkes SJSN, karena PT Askes berdasarkan UU SJSN adalah BPJS dan bisa diberikan penugasan sehubungan dengan pelaksanaan jamkes SJSN dengan UU SJSN maupun dengan sistem PSO terkait dengan PT Akses sebagai BUMN. Ini didukung oleh Pasal 5 ayat (3)UU SJSN yang menyatakan bahwa yang dimaksud BPJS salah satunya adalah PT.Askes. Pembentukan BPJS baru hanya untuk melakukan jamkes SJSN adalah sanga tidak efektif dan efisien. Ini akan menimbulkan beban bagi APBN terkait dengan pembentukan suatu badan milik negara yang baru. Pemerintah seharusnya tinggal menugaskan PT Askes untuk melaksanakan jamkes SJSN. Terkait dengan koordinasi jaminan-jaminan yang lain (jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, jaminan kematian) perlu dikoordinasikan oleh DSJN. DSJN juga perlu melakukan koordinasi dengan PT Jasa Raharja terkait dengan jaminan kecelakaan karena ini akan menimbulkan biaya perawatan terkait dengan jamkes dan juga terkait dengan jaminan kecelakaan kerja jika dalam hal kejadiannya adalah dalam melaksanakan tugas.
Jadi kesimpulannya jamkes SJSN adalah suatu sistem jaminan kesehatan yang perlu untuk segera direalisasikan di Indonesia. Realisasi ini akan sangat tepat jika diikuti dengan beberapa kebijakan terkait dengan pemerataan dan biaya yang harus dikeluarkan pemerintah. Pemerintah perlu untuk menetapakan standar biaya pengobatan termasuk standar pelayanan dokter dan harga obat-obat, mendukung kemudahan akses pelayanan kesehatan dengan infrastruktur yang memadai dan terakhir menugaskan PT Askes sebagai BPJS dalam hal jaminan kesehatan untuk efisiensi bagi Pemerintah dan menjamin kualitas pelayanan SJSN.

No comments:

Post a Comment