Penjajahan bagi Bangsa Indonesia adalah sesuatu yang sangat merugikan secara material maupun imaterial. Secara material kita sangat dirugikan dan dapat dilihat dengan jelas bagaimana sumber daya alam kita dikeruk dan dihisap untuk kepentingan penjajah tanpa memperdulikan bagaiamana kehidupan bangsa kita ini yang sangat menderita. Sumber daya alam dihisap sedemikian rupa sehingga bangsa kita hidup kesusahan di tanah airnya sendiri. Tanah air yang kaya tetapi bangsanya masih miskin baik secara material maupun imaterial. Secara imaterial bangsa kita sebenarnya diajarkan dan ditumbuhkembangkannya suatu praktek yang membudaya yang sangat membahayakan bukan hanya pada zaman penjajahan, tetapi akan menjadi suatu warisan yang merusak bangsa secara moral dan pada akhirnya merusak semuanya kalau kita tidak tanggap dan segera sadar untuk memberantasnya. Praktek yang membudaya tersebut adalah yang sangat kita kutuk yaitu “Korupsi”.
Korupsi ini tumbuh dengan suburnya pada zaman penjajahan Belanda khususnya dengan didukung oleh masyarakat yang bermoral bejat dan tidak sadar dengan nasionlalisme. Moral yang bejat ini akan bisa menumbuhkan korupsi dengan subur di setiap zaman dan keadaan. Bibit korupsi ditanam dengan mantap pada zaman penjajahan dengan berbagai bukti kejadian-kejadian yang dicatat dan diamati oleh para sejarawan dan saksi yang menyaksikan secara langsung bagaimana keadaan pada zaman penjajahan Belanda tersebut.
Menurut Herdiansyah Hamzah, pada zaman penjajahan, praktek korupsi telah mulai masuk dan meluas ke dalam sistem budaya sosial-politik bangsa kita. Budaya korupsi telah dibangun oleh para penjajah kolonial (terutama oleh Belanda) selama 350 tahun. Budaya korupsi ini berkembang dikalangan tokoh-tokoh lokal yang sengaja dijadikan badut politik oleh penjajah, untuk menjalankan daerah adiministratif tertentu, semisal demang (lurah), tumenggung (setingkat kabupaten atau provinsi), dan pejabat-pejabat lainnya yang notabene merupakan orang-orang suruhan penjajah Belanda untuk menjaga dan mengawasi daerah territorial tertentu. Mereka yang diangkat dan dipekerjakan oleh Belanda untuk memanen upeti atau pajak dari rakyat, digunakan oleh penjajah Belanda untuk memperkaya diri dengan menghisap hak dan kehidupan rakyat Indonesia. Para cukong-cukong suruhan penjajah Belanda (atau lebih akrab degan sebutan Kompeni) tersebut, dengan tanpa mengenal saudara serumpun sendiri, telah menghisap dan menindas bangsa sendiri hanya untuk memuaskan kepentingan si penjajah. Ibarat anjing piaraan, suruhan panjajah Belanda ini telah rela diperbudak oleh bangsa asing hanya untuk mencari perhatian dengan harapan mendapatkan posisi dan kedudukan yang layak dalam pemerintahan yang dibangun oleh para penjajah. Secara eksplisit, sesungguhnya budaya penjajah yang mempraktekkan hegemoni dan dominasi ini, menjadikankan orang Indonesia juga tak segan menindas bangsanya sendiri lewat perilaku dan praktek korupsi-nya. Tak ubahnya seperti drakula penghisap darah yang terkadang memangsa kaumnya sendiri demi bertahan hidup.
Contoh kasus yang menarik pada zaman kolonial belanda adalah kasus korupsi dana pemberantasan penyakit pes dan dugaaan korupsi terhadap Demang Jayeng Pranawa. Kasus korupsi dana pemberantasan penyakit pes ini terjadi salah satunya dengan tindakan yang dilakukan oleh Mantri Gunung Colo Madu , Raden Mas Ngabehi Harjasasmita telah melakukan tindak korupsi dalam penggunaan dana untuk perbaikan rumah penduduk dalam rangka pemberantasan penyakit pes. Tindak korupsi itu antara lain berupa penggelembungan harga pembelian gedek (dinding dari anyaman bambu). Ini sangat menarik karena menunjukkan bahwa budaya mark up (penggelembungan harga) atas suatu pengadaan barang atau jasa sudah dikenal dengan baik pada zaman kolonial Belanda.
Mengenai dugaan korupsi terhadap Demang Jayeng Pranawa ini muncul dengan adanya surat kaleng dimana dalam surat kaleng itu Jayeng Pranawa, wakil kepala desa Jurug diduga melakukan sejumlah tindakan korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Tindakan tersebut diantaranya, pertama, tiap hari melakukan turne ke desa-desa yang dianggap menyusahkan para bekel yang didatangi dan ia meminjam uang kepada para bekel dengan cara memaksa. Kedua, Ia meminta uang untuk pembuatan surat kitir (surat keterangan) terhadap penduduk yang bernama Wangsadikroama, dari desa Jomboran sebesar 30 sen yang hendak menjual berasnya ke Kota Solo. Ketiga, ia melindungi pelaku durjana koyok yang melakukan tindak kejahatan di desa Klampok, Jagamasan sebab pencurinya kenal dengannya sebagai akibatnya pencurinya tidak berhasil ditangkap. Namun hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa isi surat kaleng tersebut tidak benar. Surat kaleng itu diperkirakan hanyalah sebuah rekayasa karena merasa benci terhadap Jayeng Pranawa. Para bekel dan nara karya merasa berat dalam menjalankan program pengembangan pertanian desa yang dicanangkannya.
Dalam sejarah Jawa dikatakan oleh Onghokham persoalan pemungutan pajak dan kesewenangan para pejabat pada tingkat tersebut, seperti para demang dan khususnya para penjaga pintu gerbang (tool gates) menyebabkan pemberontakan, antara lain pemberontakan Diponegoro (1825-1830). Kebanyakan pengikut Diponegoro bukan memprotes sang patih, sultan ataupun Belanda, akan tetapi pemungut di gerbang jalanan, berdasrkan arsip Belanda, pada zaman kolonial lebih banyak protes terhadap kesewenangan dan korupsi dari sang lurah daripada sang bupati.
Banyak ahli seperti Clive Day (1966) menyoroti peran VOC dan pemerintahan kolonial sebagai lembaga yang memperkenalkan tradisi korupsi, sebelum Indonesia mengenal sistem pemerintahan modern. Ketika itu VOC dengan kolonial mengganti penggajian tradisional denag sistem pajak atas tanah dan hasilnya. Lagi-lagi terkait dengan kekuasaan, praktik korupsi yang dilakukan oleh para priyayi Jawa untuk mendapatkan kekuasaan yang dibagi-bagikan oleh Belanda. VOC pun bangkrut karena praktik korupsi yang yang meluas di lingkungan perusahaan perdagangan itu, seperti yang ditulis oleh sarjana Belanda Dr. J. C. Van Leur.
Yang jelas pada zaman kolonial banyak masyarakat yang bermoral bejat tidak sadar bahwa bangsanya sedang dijajah dan melakukan korupsi atas kekayaan bangsanya sendiri dengan menjiplak praktek-praktek korup yang dilakukan kompeni, pada saat masyarakat di sekitarnya menderita demi untuk kepentingan dirinya sendiri. Masyarakat yang bermoral bejat yang bekerja sebagai pegawai pemerintah Belanda, mereka dengan rakusnya melakukan korupsi atas uang rakyat untuk kepentingannnya sendiri hanya untuk memenuhi kebutuhan fisiologis saja. Menurut teori Maslow para pegawai dan pejabat Belanda tersebut tidak meningkatkan kebutuhannya sejalan dengan status dan kedudukannya. Mereka hanya berkutat pada tiga kebutuhan pokok yaitu kebutuhan fisik, kebutuhan keamanan dan kebutuhan sosial. Mereka akan terus merasa kurang dan mengumpulkan kekayaan sebanyak-banyaknya hanya berorientasi pada tiga kebutuhan pokok tersebut tanpa meningkatkan kebutuhan akan Esteem Needs dan Self Actualization Needs. Kalau ditinjau dari teori Vroom maka kinerja orang-orang yang korupsi tersebut adalah negatif meskipun ability (kemampuannya) sangat bagus, hal ini karena motivasinya sudah negatif. Dimana motivasi ini negatif karena adanya nilai yang negatif di dalam suatu harapan untuk memperkaya diri sendiri. Ini akan sangat berbahaya bagi bangsa Indonesia dan bahkan Dunia di saat orang-orang yang kemampuannya tinggi memiliki suatu value (nilai) yang negatif di dalam rangka mewujudkan suatu harapannya yang menjadi motivasinya di dalam melakukan suatu tindakan. Jadi, semakin tinggi kemampuan orang harus semakin kuat di dalam mempertahankan positif value di dalam dirinya salah satunya dengan iman dan taqwa, kalau ini tidak dilakukan maka, pada suatu saat dia akan melakukan suatu tindakan yang negatif dan merugikan bagi banyak orang, salah satunya yang sangat kita ingin berantas yaitu perilaku “KORUPSI”. Akhir kata mari kita tingkatkan iman dan taqwa sejalan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kita pelajari demi untuk merdeka dari pengaruh kolonialisme yang sangat merusak untuk kemajuan bangsa dan negara kita, Indonesia.
No comments:
Post a Comment